Tambang Rakyat vs Tambang Raksasa: Saatnya Menata Keadilan Hukum Sumber Daya Alam

Oleh: Fittroh Abdul Malik 

Belakangan ini, konflik antara masyarakat penambang rakyat dengan perusahaan tambang besar kembali mencuat ke permukaan. Di berbagai daerah—dari Wawonii di Sulawesi Tenggara hingga Lumajang di Jawa Timur—penambang rakyat dihadapkan pada kriminalisasi, intimidasi, bahkan penggusuran, sementara perusahaan besar tetap melenggang dengan legalitas formal yang mereka kantongi. Persoalan ini bukan semata tentang izin dan legalitas, tetapi lebih dalam: tentang keadilan hukum dan keberpihakan negara terhadap rakyatnya.

Persoalan Hukum: Izin vs Hak Tradisional

Secara normatif, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mewajibkan setiap aktivitas pertambangan dilakukan berdasarkan izin resmi. Namun di sisi lain, banyak masyarakat adat dan lokal yang sejak lama menggantungkan hidup dari tambang rakyat yang bersifat tradisional. Sayangnya, ruang legal untuk tambang rakyat masih sangat sempit, padahal Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ironisnya, ketika masyarakat menambang tanpa izin karena proses perizinan yang rumit dan mahal, mereka dikenai pasal pidana. Sementara perusahaan besar dengan modal kuat mampu mengamankan izin dan justru sering mendapat dukungan negara dalam bentuk regulasi yang menguntungkan.

Kesenjangan Akses Hukum dan Keadilan Substantif

Dalam praktiknya, hukum tambang di Indonesia masih bersifat formalis dan elitis. Akses ke proses perizinan, konsultasi publik, hingga mediasi sering kali tidak berpihak pada masyarakat kecil. Bahkan dalam banyak kasus, aparat penegak hukum turut terlibat dalam konflik, lebih berpihak pada pemegang izin dibanding pada warga yang terdampak.

Padahal, dalam perspektif keadilan substantif, hukum seharusnya mampu memberi ruang perlindungan bagi mereka yang secara historis dan sosial telah menggantungkan hidup pada sumber daya lokal, termasuk tambang. Keadilan tidak boleh hanya diukur dari legalitas administratif, tetapi juga dari legitimasi sosial dan keberlanjutan hidup masyarakat.

Harmonisasi Regulasi dan Penguatan Tambang Rakyat

Sudah saatnya negara hadir untuk menata ulang sistem hukum pertambangan agar tidak timpang. Ada beberapa langkah yang bisa diambil:

1. Revisi Aturan Teknis Permudah akses perizinan tambang rakyat melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang benar-benar pro-rakyat.

2.  Moratorium Sementara Hentikan sementara izin baru bagi perusahaan besar di wilayah yang masih bersengketa atau memiliki sejarah penambangan rakyat.

3. Penguatan Kapasitas Hukum Berikan bantuan hukum dan edukasi hukum bagi masyarakat penambang kecil, agar mereka tidak terus-menerus menjadi korban kriminalisasi.

    4. Audit Sosial dan Lingkungan Evaluasi izin tambang besar secara berkala dari aspek sosial, lingkungan, dan tata kelola.

    Negara hukum tidak boleh tunduk pada kekuatan modal semata. Keadilan harus menyentuh akar rumput dan melindungi mereka yang paling rentan. Sengketa tambang antara rakyat dan korporasi bukan hanya soal siapa yang punya izin, tapi soal bagaimana hukum bekerja untuk menjaga keberlanjutan, keadilan, dan kemanusiaan.

    Jika hukum terus abai terhadap jeritan rakyat kecil, maka yang tumbuh bukan keadilan, melainkan ketimpangan yang makin dalam.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *